Sekbernews.id – JAKARTA Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, telah mengumumkan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai pengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan.
Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan standardisasi layanan kesehatan berdasarkan 12 kriteria yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, para pemangku kepentingan menegaskan bahwa KRIS tidak menghapus kelas yang ada, melainkan meningkatkan kualitas melalui standar yang lebih baik.
Penerapan KRIS diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 yang merupakan perubahan ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Presiden Joko Widodo telah menandatangani perpres ini pada 8 Mei 2024.
Pasal 103B ayat 1 menyatakan bahwa penerapan KRIS harus dilakukan paling lambat pada 30 Juni 2025, sementara penetapan manfaat, tarif, dan iuran harus diatur paling lambat 1 Juli 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai bahwa implementasi KRIS membawa keuntungan dan kerugian yang perlu dicermati.
Menurutnya, dengan adanya standar pelayanan kesehatan yang seragam, seluruh lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin, akan menikmati fasilitas yang setara. Namun, ia juga khawatir bahwa kualitas pelayanan yang sebelumnya terbagi dalam beberapa kelas dapat menurun.
Oleh karena itu, Esther menekankan pentingnya pemerintah memantau secara rutin pelaksanaan KRIS di lapangan.
Esther juga mengungkapkan kekhawatiran terkait besaran iuran yang harus ditetapkan agar tetap terjangkau bagi masyarakat miskin.
Ia menyoroti perbedaan nominal iuran BPJS Kesehatan saat ini, di mana kelas 1 membayar Rp150 ribu per bulan, kelas 2 Rp100 ribu per bulan, dan kelas 3 Rp35 ribu per bulan berkat subsidi Rp7.000 dari pemerintah. Esther berharap iuran KRIS dapat diatur sedemikian rupa agar tetap dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap pelaksanaan KRIS.
Menurutnya, aturan mengenai kelas standar justru bisa kontraproduktif dan menimbulkan masalah bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Timboel memprediksi adanya single tariff yang mungkin menyebabkan iuran kelas 1 dan 2 menurun, sementara peserta kelas 3 harus membayar lebih tinggi.
Timboel memperkirakan kisaran iuran tunggal berada di antara Rp42 ribu hingga Rp100 ribu per bulan. Ia khawatir hal ini bisa menyebabkan penurunan pendapatan dari iuran dan meningkatkan potensi tunggakan iuran oleh masyarakat miskin.
“Jika ditetapkan Rp75 ribu per bulan, peserta kelas 1 yang sebelumnya membayar Rp150 ribu akan turun, sementara peserta kelas 3 yang sekarang membayar Rp35 ribu akan naik. Ini bisa membuat peserta kelas 3 kesulitan membayar iuran dan berpotensi menunggak,” jelas Timboel.
Selain potensi defisit keuangan, Timboel juga menyoroti kemungkinan ketidakpuasan dari peserta kelas 1 dan 2 terhadap pelayanan KRIS, serta ketidakpastian dalam mengakses ruang perawatan.
Menurutnya, pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan menyebutkan alokasi minimal 40 persen ruang perawatan KRIS di rumah sakit swasta dan minimal 60 persen di rumah sakit pemerintah untuk rawat inap kelas standar.
Hal ini, menurut Timboel, dapat membatasi akses peserta JKN ke ruang perawatan.
Ia menekankan bahwa pemerintah dan BPJS Kesehatan harus menjamin peserta JKN tidak mengalami kesulitan dalam mengakses ruang perawatan.
Timboel juga mengusulkan agar pemerintah mengakomodasi kebutuhan ambulans yang dibiayai oleh JKN untuk membantu pasien yang tidak ter-cover di satu rumah sakit.
Timboel berharap masalah ini dapat diatur lebih jelas dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes) yang akan segera diterbitkan.
“Saya berharap permenkes menyebutkan secara eksplisit sehingga pemerintah dan BPJS Kesehatan benar-benar menjamin pasien JKN mudah mengakses ruang perawatan KRIS,” tutupnya.