Sekbernews.id – JAKARTA Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo terlibat dalam pelanggaran utama di Pilpres 2024, yakni nepotisme.
Mereka mengungkapkan bahwa terdapat tiga bentuk nepotisme yang dilakukan oleh Jokowi terhadap pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto, dan putranya, Gibran Rakabuming, selama proses Pilpres 2024.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Annisa Ismail, dalam sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (27/3/2024).
Menurut Annisa, nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diklasifikasikan menjadi tiga skema. Pertama, Jokowi memastikan bahwa putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, memiliki dasar hukum untuk maju dalam Pilpres 2024.
Skema ini dilakukan melalui partisipasi Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran, dalam memutuskan perkara 90 di MK.
“Keduanya akhirnya dinyatakan melanggar etika,” ujar Annisa.
Skema kedua adalah Jokowi membangun infrastruktur politik melalui orang-orang dekatnya untuk menduduki posisi penjabat kepala daerah. Mereka semua dimanfaatkan oleh Jokowi untuk mengondisikan Pilpres 2024.
“Orang-orang dekat Presiden Jokowi dimajukan untuk memegang jabatan penting terkait pelaksanaan Pilpres 2024, khususnya ratusan pejabat kepala daerah,” tambahnya.
Skema ketiga adalah Jokowi memastikan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dalam satu putaran. Upaya ini dilakukan dengan berbagai cara, terutama melalui pertemuan pejabat dan politisasi bantuan sosial.
“Pemerintah pusat dan pemerintah desa terlibat, yang kemudian dikombinasikan dengan politisasi bantuan sosial dari segi waktu, jumlah, pembagian, dan penerima,” jelasnya.
Dalam sidang tersebut, TPN juga menyoroti bahwa Jokowi melanggar tiga jenis etika politik dengan campur tangan dalam Pilpres 2024.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono, mengingatkan bahwa segala dugaan atau tuduhan harus dibuktikan di dalam persidangan. Ia menekankan agar publik menunggu dan mengikuti dinamika persidangan di MK.
“Dalam setiap upaya hukum, berlaku asas umum bahwa siapapun yang mengajukan tuduhan wajib membuktikan dalil-dalil tersebut,” tegas Dini dalam keterangannya pada Rabu (27/3/2024).