Sekbernews.id – JAKARTA Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda, mengungkap beberapa penyebab utama di balik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai universitas negeri.
Huda menyebutkan dua faktor utama yang menyebabkan kenaikan tersebut, yaitu tidak optimalnya alokasi anggaran pendidikan kampus negeri dan penetapan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).
“Dari pengamatan dan laporan yang kami terima, ada beragam penyebab kenaikan UKT,” kata Huda dikutip pada Sabtu (18/5/2024).
Ia menjelaskan bahwa dua faktor inilah yang membuat rektorat di beberapa kampus menaikkan UKT secara signifikan untuk memenuhi kebutuhan operasional.
“Dua faktor ini yang membuat rektorat di masing-masing kampus sedikit ugal-ugalan menaikkan UKT dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan operasional,” ujarnya.
Huda menjelaskan bahwa kenaikan UKT ini sangat drastis dan dilakukan di tengah proses belajar mahasiswa. Hal ini, menurutnya, menunjukkan kebijakan yang kurang bijak.
“Kenaikannya cukup drastis, bahkan di Unsoed kenaikan UKT untuk mahasiswa baru mencapai 350%. Meskipun kabarnya kenaikan itu sudah direvisi, tetap saja hal ini dilakukan di tengah proses kegiatan belajar mahasiswa,” tegas Huda.
Ia juga menyebut bahwa situasi ini telah diprotes oleh Menko PMK, Prof. Muhadjir Effendi.
Huda menyatakan bahwa saat ini belum ada informasi mengenai potensi pengalihan anggaran pendidikan untuk program atau kegiatan lain oleh pemerintah.
Namun, ia menegaskan bahwa distribusi anggaran pendidikan yang mencapai Rp 665 triliun perlu diperbaiki.
“Hanya saja, pola distribusi anggaran pendidikan dari APBN sebesar Rp 665 triliun memang butuh perbaikan. Anggaran ini terbagi dalam tiga jenis belanja, yakni Belanja Pemerintah Pusat (BPP) untuk Kemendikbud Ristek, Kemenag, dan kementerian/lembaga lain; Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD); serta Pembiayaan Anggaran,” jelasnya.
Huda menyoroti bahwa alokasi terbesar dari anggaran pendidikan adalah untuk TKDD, dan anggaran tersebut seharusnya digunakan untuk fungsi pendidikan.
Namun, perlu ditelusuri lebih lanjut apakah anggaran TKDD benar-benar digunakan oleh kepala daerah untuk fungsi pendidikan.
“Dari tiga komponen belanja tersebut, alokasi terbesar adalah untuk TKDD. Ini memang diperbolehkan oleh Undang-Undang, tetapi anggaran untuk transfer ke daerah dan dana desa harusnya digunakan untuk fungsi pendidikan. Di sinilah masalahnya, kita perlu telusuri lebih jauh apakah anggaran TKDD ini benar-benar digunakan oleh masing-masing kepala daerah untuk fungsi pendidikan,” sambungnya.
Komisi X DPR Bentuk Panja untuk Telusuri Kenaikan UKT
Sebagai langkah tindak lanjut, Komisi X DPR akan membentuk panitia kerja (panja) terkait biaya pendidikan. Panja ini direncanakan akan bekerja selama 3-4 bulan untuk memeriksa komponen-komponen yang menyebabkan kenaikan UKT.
“Ini menurut kami tidak wajar, sehingga perlu ada peninjauan bersama. Kami berencana memanggil Kemendikbud dan DPR juga langsung membentuk panja biaya pendidikan,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, kepada wartawan di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/5).
Dede menjelaskan bahwa langkah terdekat adalah mendorong revisi Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024. Ia juga mengusulkan agar alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dikelola oleh Kementerian Pendidikan dengan porsi yang lebih besar.
“Kita akan mendorong mungkin tidak di pemerintahan sekarang tapi di pemerintahan nanti agar alokasi anggaran pendidikan 20% paling tidak dikelola Kementerian Pendidikan itu 50%-nya sekitar Rp 300 triliun,” pungkasnya.