Sekbernews.id – JAKARTA Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk menolak gugatan agar Pemilu 2024 kembali pada sistem proporsional tertutup.
Keputusan MK ini berarti memastikan Pemilu 2024 memakai sistem proporsional terbuka. Pemilih bakal tetap mencoblos nama calon legislatif.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman, dalam sidang terbuka di gedung MK, Kamis (15/6/2023).
Dalam putusan itu, MK menegaskan politik uang bisa terjadi pada semua sistem pemilu, baik lewat proporsional terbuka maupun proporsional tertutup.
MK kemudian memerintahkan tig langkah dalam memerangi politik uang. Yang pertama, parpol dan anggota DPRD memperbaiki komitmen tidak menggunakan politik uang.
Kemudian yang kedua, penegakan hukum harus dilaksanakan. Dan terakhir, masyarakat perlu diberi kesadaran dan pendidikan politik agar tidak menerima politik uang.
Keputusan MK ini menolak gugatan dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 yang didaftarkan oleh enam orang. Mereka menginginkan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup.
Berikut keenam orang tersebut:
- Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
- Yuwono Pintadi
- Fahrurrozi (bacaleg 2024)
- Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
- Riyanto (warga Pekalongan)
- Nono Marijono (warga Depok)
Adapun alasan mereka mengajukan Pemilu 2024 menjadi proporsional tertutup adalah:
- Parpol mempunyai fungsi merekrut calon anggota legislatif yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh sebab itu, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.
- Sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol. Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Parpol. Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat.
- Pada hari ini, pemilu dilakukan dengan proporsional terbuka/suara terbanyak perseorangan. Pada pokoknya menempatkan individu sebagai peserta pemilih sebenarnya. Parpol kehilangan maknanya dengan hadirnya norma-norma liberal, menjunjung tinggi elektabilitas perseorangan, daripada sistem kepartaian. Hal ini dikarenakan tidak ada perintah dari konstitusi untuk memerintahkan adanya bentuk pemilu yang proporsional terbuka yang dilanjutkan dengan suara terbanyak.
- Pemohon selaku pengurus parpol, dengan berlakunya norma pasal a quo berupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal ‘populer dan menjual diri’ tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol.
- Caleg dengan sistem proporsional tertutup tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol, tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik.
- Akibat sistem proporsional terbuka, saat menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah mewakili organisasi parpol. Namun aslinya mewakili dirinya sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.
- Proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas. Yakni menempatkan kemenangan individual yang total dalam pemilu. Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.