Sekbernews.id – JAKARTA Fenomena puting beliung kencang yang melanda daerah Rancaekek, Bandung, pada 21 Februari lalu mengundang perhatian publik. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan penjelasan mendalam tentang penyebab terjadinya kejadian ini, yang dikaitkan dengan alih fungsi lahan hijau.
Menurut Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, Rancaekek awalnya merupakan kawasan hijau dengan pepohonan yang melimpah. Namun, perubahan tata guna lahan telah merubahnya menjadi kawasan industri, meningkatkan risiko terkena pusaran angin, seperti yang terjadi pada 21 Februari kemarin.
“Dengan kata lain, terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati kini berubah menjadi hutan beton,” ujar Eddy Hermawan dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (23/2/2024).
Alih fungsi lahan ini memiliki dampak signifikan terhadap iklim mikro kawasan tersebut. Kawasan yang semula hijau dan sejuk berubah menjadi panas pada siang hari dan relatif dingin pada malam hari, menciptakan perbedaan suhu yang besar antara malam dan siang.
Menurut Eddy, perubahan ini menyebabkan kawasan tersebut tiba-tiba menjadi kawasan bertekanan rendah sejak 19 Februari 2024. Proses berlangsung sekitar 24-48 jam, dimulai dengan pembentukan awan cumulus dan berakhir dengan pembentukan pusaran besar yang dikenal sebagai puting beliung.
“Walaupun mekanisme agak kompleks untuk dijelaskan secara rinci, dugaan kuat pusaran ini terjadi akibat adanya pertemuan dua massa uap air dari arah barat dan timur, diperkuat dari arah selatan Samudra Indonesia,” terang Eddy Hermawan.
Lebih lanjut, Eddy Hermawan menekankan pentingnya menjaga lingkungan dan memperbanyak penanaman pepohonan sebagai upaya mitigasi. Meskipun puting beliung tidak dapat dicegah, tanda-tanda kehadirannya dapat diawasi, seperti langit yang mulai gelap, peningkatan kecepatan angin permukaan, dan perubahan suhu udara.
Dalam analisis awal, peneliti senior BRIN, Didi Satiadi, menyebut bahwa penyebab puting beliung di Rancaekek diduga disebabkan oleh konvergensi angin dan uap air di daratan wilayah tersebut. Konvergensi ini terjadi pada sore hari, memicu pertumbuhan awan cumulonimbus yang cepat dan meluas.
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Albertus Sulaiman, menjelaskan bahwa angin puting beliung merupakan fenomena menarik yang masih menjadi buku terbuka. Pusat Riset Artifisial Inteligen BRIN terlibat dalam mengembangkan algoritma pengenalan pola dari foto dan video untuk memahami lebih baik mekanisme dan dinamika angin puting beliung.
“Kerja sama antardisiplin ilmu dan partisipasi masyarakat diharapkan mempercepat pemahaman kita tentang angin puting beliung, sehingga deteksi dini, mitigasi, dan adaptasi dapat dilakukan,” tambahnya.