Sekbernews.id – JAKARTA Partai Gerindra telah mengungkap dugaan adanya operasi rahasia yang bertujuan untuk menggagalkan rencana Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Wakil Presiden (cawapres) dari pasangan Prabowo Subianto.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman. Ia mengklaim bahwa operasi rahasia ini melibatkan beberapa elemen masyarakat.
“Sepertinya ada operasi rahasia yang intinya menggagalkan Mas Gibran untuk menjadi cawapresnya Pak Prabowo, dengan melibatkan beberapa elemen masyarakat.” ungkapnya, dalam sebuah wawancara di televisi, pada Jum’at (3/11/2023).
Lebih lanjut, Habiburokhman menjelaskan bahwa pihaknya telah berhasil mengidentifikasi dua kelompok masyarakat yang mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan usia calon presiden dan wakil presiden.
“Saya melihat pemetaan adanya dua kelompok masyarakat yang mengkritisi putusan MK terkait batasan usia ini,” ujarnya.
Habiburokhman juga menyatakan bahwa kelompok-kelompok ini mungkin ingin mencari dukungan politik untuk pandangan mereka, tetapi ia yakin bahwa hal ini tidak akan terwujud karena masyarakat sudah cerdas dan memiliki pemahaman yang baik tentang siapa yang memiliki wewenang dalam hal ini.
“Sekarang mereka mungkin ingin dilegitimasi secara politik, yang menurut saya itu tidak mungkin terjadi karena rakyat sudah cerdas dan sadar. Rakyat paham sekali siapa yang menentukan hal tersebut dan rakyat bisa menilai yang mana yang lebih substansial,” tambahnya.
Habiburokhman juga mengkritik upaya penggiringan opini dengan mengaitkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tentang dugaan pelanggaran etik hakim MK dengan kemungkinan membatalkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Ada isu soal hak angket, apa disebut soal MKMK, padahal udah jelas kalau hak angket itu tidak bisa diajukan kepada keputusan MK,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yudikatif yang independen, sebagaimana diatur dalam konstitusi kita.
Dalam konteks putusan MKMK, ia menjelaskan bahwa ada upaya untuk menyesatkan dengan mengklaim bahwa MKMK dapat membatalkan putusan MK.
“Padahal UUD kita itu mengatur bahwa putusan MK bersifat final dan putusan MK adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir,” paparnya.
Habiburokhman memberikan contoh kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar, yang terlibat dalam tindak pidana korupsi saat membuat putusan terkait sengketa pilkada.
Meskipun terbukti korupsi, putusan MK terkait sengketa pilkada tersebut tetap berlaku tanpa pembatalan.
“Misalnya seperti mantan Ketua MK Akil Mochtar yang dalam tugasnya terbukti melakukan korupsi, tetapi putusannya dalam perkara sejumlah sengketa pilkada tak membatalkan putusan tersebut,” jelasnya.