Sekbernews.id – TOKYO Jepang menggelar upacara kedewasaan (coming of age) untuk Pangeran Hisahito di Istana Kekaisaran Tokyo pada Sabtu (6/9/2025) kemarin, sebuah perayaan adat yang menandai peran barunya sebagai anggota dewasa keluarga kekaisaran.
Dalam prosesi tersebut, keponakan Kaisar Naruhito itu menerima mahkota sutra hitam berlapis pernis, simbol resminya sebagai pewaris takhta generasi berikutnya. Upacara bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-19, sekaligus menegaskan posisinya sebagai pewaris kedua setelah ayahnya, Pangeran Akishino.
“Terima kasih atas kehormatan yang diberikan pada upacara kedewasaan ini. Saya akan melaksanakan tugas dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab sebagai anggota dewasa keluarga kekaisaran,” ujar Pangeran Hisahito.
Krisis Suksesi di Balik Tradisi Kekaisaran
Meski Kaisar Naruhito memiliki seorang putri, Putri Aiko yang kini berusia 23 tahun, aturan suksesi kekaisaran Jepang tetap hanya memberikan hak waris bagi keturunan laki-laki. Aturan ini telah lama menuai perdebatan publik, mengingat berbagai survei menunjukkan tingginya dukungan masyarakat untuk membuka jalan bagi kaisar perempuan.
Sejak lama, Jepang membicarakan reformasi aturan suksesi. Pada 2005, sebuah panel pemerintah merekomendasikan agar takhta diberikan kepada anak tertua tanpa memandang jenis kelamin. Namun, kelahiran Pangeran Hisahito pada 2006 menghentikan wacana tersebut karena ia dipandang sebagai penerus sah garis laki-laki kekaisaran.
Bagi kalangan konservatif, keberlangsungan garis suksesi laki-laki yang diyakini tak terputus selama 2.600 tahun adalah fondasi identitas bangsa Jepang. Mereka menilai perubahan besar dalam aturan pewarisan berisiko memecah belah masyarakat.
Peran dan Tantangan Generasi Baru
Sebagai pewaris kedua, Pangeran Hisahito melaksanakan penghormatan kepada para dewa dan leluhur di Istana Kekaisaran. Ia juga menegaskan tekadnya untuk menjalankan peran publik sebagai anggota muda keluarga kerajaan.
Namun, masa depan suksesi masih menyisakan tantangan. Anggota perempuan keluarga kekaisaran diwajibkan meninggalkan status kerajaan setelah menikah, sehingga jumlah anggota keluarga inti kian menyusut. Salah satu usulan modernisasi adalah mengizinkan para putri tetap menjalankan tugas publik meski telah menikah, sementara kubu konservatif mendorong agar kerabat jauh diikutsertakan kembali ke dalam lingkar keluarga kekaisaran.
Pangeran Hisahito sendiri mengaku belum memikirkan secara mendalam mengenai pernikahannya. Padahal, sejarah menunjukkan perempuan yang menikah ke dalam keluarga kekaisaran kerap menghadapi tekanan besar, terutama terkait harapan memiliki keturunan laki-laki. Permaisuri Masako maupun Permaisuri Emerita Michiko pernah mengalami gangguan kesehatan terkait tekanan publik.
Kisah Putri Mako, kakak Pangeran Hisahito, juga menjadi sorotan. Ia menikah dengan kekasihnya semasa kuliah, Kei Komuro, meski diterpa kontroversi soal kondisi finansial keluarga sang suami. Setelah meninggalkan status kerajaan, Mako pindah ke Amerika Serikat bersama suaminya dan kini telah dikaruniai seorang anak.
Dukungan Publik dan Fokus Masyarakat
Walau dukungan publik untuk membuka peluang suksesi perempuan cukup tinggi, isu ini kerap meredup setelah berakhirnya rangkaian seremoni. Menurut sejarawan kekaisaran Hideya Kawanishi, masyarakat Jepang kini lebih banyak memusatkan perhatian pada isu lain seperti inflasi yang terus meningkat.
“Jika suara pendukung kaisar perempuan lebih lantang, kemungkinan besar para politisi akan lebih serius menanggapinya. Namun setelah upacara berakhir, masyarakat dan media cenderung tenang kembali,” ujar Kawanishi.



