Sekbernews.id – JAKARTA Rakernas PDIP ke-5 berlangsung selama tiga hari, mulai dari 24 hingga 26 Mei 2024, dengan mengusung tema “Satyam Eva Jayate, Kebenaran Pasti Menang”.
Pada hari pertama Rakernas yang dilaksanakan di Beach City International Stadium, Ancol, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik sebagai panduan kebijakan seluruh materi Rakernas.
Dalam pidatonya, Megawati mengutip kata-kata dari berbagai tokoh, termasuk Nabi Muhammad SAW, Sidharta Gautama, dan Sindhunata, untuk menggambarkan kondisi saat ini. Salah satu kutipan yang disampaikan Megawati berasal dari tulisan Sindhunata, yang dikenal sebagai Romo Sindhu.
“Ia hanya mau orang mengerti, harapannya adalah matahari dan jagonya adalah penderitaannya sendiri. Ia percaya ratu adilnya tak lain hanyalah manunggalnya penderitaan dan harapan laksana manunggaling kawula lan Gusti,” kata Megawati, mengutip tulisan Sindhunata.
Dengan suara bergetar, Megawati melanjutkan pidatonya, menahan tangisan.
“Mereka wong cilik itu bukanlah kalah. Mereka hanya menitipkan rahasia penderitaan tempat tersimpannya harapan akan masa depan di negeri yang indah, yang gemah, loh jinawi, Indonesia Raya yang kita cintai. Tidak yakin akan hal itu? Tidak yakin akan hal itu hanya karena manusia-manusianya sudah mulai lupa diri. Hayo, siapa yang mau insaf? Siapa yang mau insaf?” tanyanya, yang disambut teriakan menyebut nama “Jokowi” dari hadirin. Namun, Megawati tidak menanggapi teriakan tersebut dan melanjutkan pidatonya.
“Saudara sekalian, rakyat Indonesia yang saya cintai dengan tulus dan ikhlas, sudah menjadi tugas sejarah kita untuk tidak pernah berhenti berjuang mengangkat harkat dan martabat para petani, buruh, dan nelayan. Ini bukan hanya slogan, tetapi benar-benar menjadi basis keberpihakan partai,” tegas Megawati.
Siapakah Sindhunata?
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, yang akrab dipanggil Romo Sindhu, lahir pada 12 Mei 1952 di kota Batu, Malang dari orang tua beretnis Tionghoa. Setelah menyelesaikan pendidikan di Seminarium Marianum, Malang, ia pindah ke Jakarta dan berkarier sebagai wartawan di majalah Teruna dan Harian Kompas.
Sambil bekerja sebagai wartawan, Sindhu melanjutkan pendidikan di STF Driyakarya, Jakarta pada 1974-1980, serta meraih gelar sarjana dari Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta, yang disusul dengan gelar doktor bidang filsafat.
Sindhunata dikenal memiliki keahlian menulis sejak di bangku sekolah menengah, dengan kegemarannya membaca buku-buku bergenre budaya, filsafat, babad, sejarah, novel, dan puisi. Beberapa karya tulisannya yang terkenal antara lain “Anak Bajang Menggiring Angin”, “Semar Mencari Raga”, “Tak Enteni Keplokmu”, dan “Air Kata-Kata”.
Sebagai seorang ahli filsafat, Sindhunata rajin menulis artikel bernuansa filsafat di majalah Basis dan Harian Kompas.
Ia juga sering menerbitkan buku hasil kajian pemikir dan karya ilmiah lainnya, seperti “Menjadi Generasi Pasca Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya” (1999) dan “Kambing Hitam Teori Rene Girard” (2006). Salah satu karya ternamanya berjudul “Petruk Jadi Guru”.
Gaya tulisan Sindhunata dikenal sebagai jurnalisme sastrawi, yaitu berita yang disampaikan dengan cara bercerita, seperti karya sastra.
Saat ini, Sindhunata menetap di Yogyakarta sebagai gembala umat Katolik, penulis aktif, redaktur majalah Basis, dan dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.