Sekbernews.id – INDRAMAYU Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Indramayu 2024 berlangsung di tengah atmosfer persaingan politik yang memanas antara petahana Nina Agustina dan penantangnya, Lucky Hakim.
Dalam kampanye yang penuh perdebatan, Nina Agustina menanggapi kritik Lucky Hakim mengenai tingginya angka kemiskinan di Indramayu dengan menyoroti peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tersebut dari tahun ke tahun.
Dalam unggahan di Instagramnya, Nina Agustina sampai secara khusus membahas tentang kenaikan IPM Kabupaten Indramayu untuk menjawab kritik tersebut.
Nina mengutip data dari BPS dan menaruh link yang merujuk ke halaman website lembaga statistik tersebut tentang kenaikan angka IPM Kabupaten Indramayu dalam masa kepemimpinannya.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana IPM dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat kemiskinan?
IPM merupakan indikator komposit yang disusun oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), yang mencakup tiga aspek utama: kesehatan (dengan usia harapan hidup sebagai pengukurannya), pendidikan (diwakili oleh rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah), serta standar hidup layak (diukur dengan pendapatan per kapita).
Setiap dimensi tersebut memberikan gambaran yang signifikan terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan suatu wilayah. Meski IPM sering dihubungkan dengan kesejahteraan umum, pengukuran kemiskinan memerlukan indikator yang lebih spesifik.
Dimensi kesehatan, seperti usia harapan hidup, mencerminkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan dan pola hidup yang sehat. Daerah dengan IPM rendah biasanya memiliki akses layanan kesehatan yang terbatas, yang seringkali berkorelasi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Masyarakat miskin seringkali menghadapi kesulitan dalam mendapatkan layanan kesehatan memadai, memperburuk kondisi mereka.
Sementara itu, pendidikan juga memainkan peran kunci. Indikator rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah menilai akses pendidikan di suatu daerah.
Di wilayah dengan IPM rendah, tingkat partisipasi sekolah cenderung rendah, menyebabkan keterbatasan keterampilan dan kesempatan yang membuat masyarakat sulit keluar dari kemiskinan.
Dimensi terakhir, yaitu standar hidup yang diukur melalui pendapatan per kapita, berkaitan langsung dengan kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar. Pendapatan rendah menjadi faktor yang membuat sebagian masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.
Secara umum, daerah yang memiliki IPM tinggi seringkali menunjukkan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan masyarakat yang sehat, berpendidikan, dan memiliki penghasilan memadai cenderung memiliki kesejahteraan yang lebih baik.
Namun, meskipun IPM tidak dirancang untuk mengukur kemiskinan secara langsung, peningkatan dalam ketiga dimensi IPM biasanya mencerminkan perbaikan yang dapat membantu mengurangi angka kemiskinan secara keseluruhan.
Pengukuran kemiskinan sering menggunakan Garis Kemiskinan, Indeks Kemiskinan Multidimensional (IKM), dan Indeks Gini.
Metode ini lebih fokus pada aspek pendapatan, konsumsi, atau akses terhadap kebutuhan dasar, memberikan gambaran yang lebih langsung dan spesifik mengenai tingkat kemiskinan di suatu wilayah.
Berbeda dengan IPM, indikator-indikator ini mengukur kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi yang lebih mendetail.
IPM memiliki hubungan erat dengan kemiskinan, tetapi bukan indikator langsung untuk mengukur kemiskinan itu sendiri.
Meski demikian, peningkatan IPM sering kali menjadi tanda perbaikan dalam berbagai aspek yang berpotensi menurunkan angka kemiskinan.
Kesehatan, pendidikan, dan standar hidup yang lebih baik semuanya berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan dalam jangka panjang.